Oleh Asep Saefuddin
SEJARAH Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia memang tidak setua universitas-universitas di Eropa dan Amerika. Tetapi tentunya tidak juga terlalu muda. Bahkan, dibandingkan dengan beberapa universitas di Malaysia, banyak PT besar Indonesia jauh lebih senior.
Ketika menjadi mahasiswa S1 di IPB pertengahan tahun 70, saya menyaksikan banyak mahasiswa dari negeri jiran dengan beasiswa pemerintah Malaysia. Ketika menjadi dosen muda pun saya mendapat jatah membimbing skripsi mereka yang mengambil major (program studi) statistika.
Pengiriman tugas belajar pemuda Malaysia ke PTN besar itu dimulai dari awal dekade 70, memuncak di awal tahun 80, lalu menurun di pertengahan 80.
Pada akhir tahun 2004, IPB pernah mengadakan pertemuan pimpinan PT Indonesia dan Malaysia. Tidak sedikit dari delegasi Malaysia itu adalah alumni UI, IPB, ITB, UPI, dan UGM.
Mereka saat itu menduduki posisi puncak PT setingkat Dekan dan bahkan Presiden (Rektor). Mereka umumnya lulusan S1 tahun 75-80 yang memperoleh ijazah sekaligus ijabsyah (surat pernikahan bagi mereka yang mempersunting gadis Indonesia).
Di awal tahun 90, program pengiriman beasiswa pemerintah Malaysia sudah tidak ada lagi atau sangat sedikit. Walaupun tentu ada beberapa mahasiswa Malaysia dengan biaya sendiri. Semakin ke sini, mahasiswa dari Malaysia itu sudah jauh berkurang.
Ada beberapa alasan mengapa hal itu terjadi. Di antaranya, 1) PT di Malaysia sudah semakin mapan dan baik, 2) Pengiriman beasiswa lebih banyak diprioritaskan ke Inggris dan Amerika, dan 3).
Pemerintah Malaysia tidak lagi menganggap bahwa PT Indonesia sebagai PT yang bermutu. Alasan yang ketiga ini membuat saya cukup sedih.
Untuk alasan pertama, saya ambil dari bukti di awal tahun 1990, PT Malaysia seperti UKM (Universitas Kebangsaan Malaysia), USM (Universitas Sains Malaysia), UPM (Universitas Putra Malaysia yang awalnya bernama Universitas Pertanian Malaysia), UTM (Universitas Teeknologi Malaysia) dan UM (Universitas Malaysia) itu sudah mengirimkan brosur-brosur untuk pendidikan siswajah (pascasarjana).
Kemasan brosur sangat menarik, cantik-cantik, dan ditulis dalam dua bahasa (Melayu dan Inggris). Terlihat sekali mereka mengemasnya secara profesional dan sungguh-sungguh. Selain itu, mereka pun menawarkan beasiswa bagi mahasiswa asing.
Pada kesempatan kunjungan ke beberapa kampus Malaysia, saya merasakan adanya ekosistem akademik yang baik. Perpustakaan selalu padat dari sejak buka pukul 6 pagi sampai pukul 11 malam. Mirip kampus-kampus modern yang ada di USA, Australia, Inggris, Eropa, Jepang. Padahal SKS S1 mereka hanya 124 kredit. Bandingkan dengan SKS S1 PT Indonesia yang minimum 148 kredit itu. Mungkin kultur kita senang dengan banyak tetapi tidak mendalam. Mutu kurang mendapat perhatian.
Kampus mereka banyak diminati orang asing. Di sana sini saya melihat banyak mahasiswa dari berbagai negara, seperti Timur Tengah, Cina, Jepang, Bangladesh, Amerika, Australia, dan negara-negara ASEAN. Mereka datang dengan beasiswa negaranya atau pribadi. Ada juga dari mereka yang mendapat beasiswa pemerintah Malaysia.
Sangat Birokratis
Keadaan ini berbeda dengan situasi PT Indonesia. Manajemen pendidikan tinggi Indonesia saat ini terasa sangat birokratis. Pada dekade 70an manajemen PT umumnya sangat sederhana, cukup mumpuni.
Sebagai mahasiswa dan dosen muda saat itu saya merasakan hubungan dengan pimpinan cukup dekat, tidak terlalu birokratis. Apalagi dengan dosen, hubungan cukup dekat, terutama pada tahap penulisan skripsi. Mereka sangat membantu dan menginspirasi.
Pada dekade 70-80 itu, memang semuanya masih dilakukan secara manual, karena teknologinya belum tersedia, jumlah mahasiswa juga belum terlalu banyak. Tetapi esensi pelayanan akademik sangat terasa.
Tidak terlalu formal dan tidak bersifat kontraktual. Perubahan zaman sebenarnya menuntut PT kita harus bekerja lebih keras dan lebih cerdas lagi. Tetapi tidak berarti harus kaku, birokratis, apalagi feodalistis. Optimasi teknologi informasi bisa dipergunakan untuk manajemen tridharma dan proses pembelajaran mahasiswa.
Saat ini memang kita menggunakan teknologi, tetapi cenderung menjerat. Misalnya kehadiran dosen dengan cap jempol (fingerprint) bagaikan pegawai pabrik. Juga kehadiran yang harus mengisi absensi setiap rapat. Semuanya serba formalistik dan cenderung menghambur-hamburkan kertas.
Orang bilang bahwa sebenarnya PT Indonesia itu berjalan, akan tetapi PT negara lain termasuk Malaysia sudah berlari. Sehingga kita jauh tertinggal.
PTN besar yang dulunya menjadi incaran mahasiswa Malaysia, pada umumnya sekarang pun belum menggunakan multi bahasa, termasuk sistem akademik dan aplikasinya. Juga pengajarannya, umumnya dilakukan dalam bahasa Indonesia.
Keadaan ini kurang menarik bagi mahasiswa asing. Kita tidak punya strategi menjadikan PT sebagai penghasil devisa. Berbeda dengan Malaysia yang sudah meraup devisa dari sektor pendidikan (tinggi). Secara umum paradigma pendidikan kita tidak banyak berubah. Kalaupun berubah, tidak ke arah yang lebih baik.
Alasan yang kedua, pemerintah Malaysia tetap memberi beasiswa, tetapi orientasinya lebih ke Inggris dan Amerika. Mereka menilai bahwa kedua negara itu masih menjadi kiblat sains dan teknologi.
Mahasiswa yang dikirim pun pada umumnya untuk tingkat doktoral, jadi lebih ke orientasi riset. Adapun program S1 dan S2 cukup dilakukan di negerinya sendiri. Mereka sudah sangat matang.
Apalagi sejak tahun 2010, kampus-kampus besar mereka diarahkan menjadi universitas riset. Di Indonesia, konsep dan aplikasi universitas riset ini masih jauh panggang dari api. Tidak sedikit kampus-kampus besar PTN yang massibuk mencari mahasiswa baru lewat berbagai jalur.
Dari alasan pertama dan kedua, terlihat bahwa pemerintah Malaysia mempunyai perencanaan pendidikan yang jelas. Mereka menyiapkan modal insani human capital sejak awal 70 secara teratur dan terus dipraktikkan.
Akhirnya mereka sekarang bisa menikmati hasilnya. Dan itu pun terus menerus diperbaiki disesuaikan dengan perkembangan jaman.
Terlepas dari arus globalisasi yang semakin deras, PT Malaysia tetap memegang beberapa tradisi yang baik. Kedai-kedai kampus tetap mempertahankan tradisi Melayu.
Tempat duduk dan meja masih banyak menggunakan kayu seperti warteg di Indonesia. Waktu acara syukuran USM, pimpinan kampus mengundang makan malam hidangan sederhana. Nasi lemak, krupuk, goreng ayam, lalaban, dan sambal. Itu saja.
Kami duduk sama-sama di bangku-bangku sederhana itu. Hadirin adalah mahasiswa siswajah (pascasarjana), pegawai, dosen, dan pimpinan fakultas dan universitas. Sangat bersahaja.
Saya melihat pendidikan di Indonesia tidak ditangani secara serius. Kurang mendapat perhatian negara (pemerintah). Kalaupun ada perhatian, cenderung campur tangan yang terlalu jauh. Tidak begitu percaya terhadap pengelola kampus.
Maka dibuatlah aturan remunerasi dosen berbasis kehadiran yang ditandai dengan cap jempol, absensi rapat. Dan pemilihan pimpinan PTN dengan suara Mentri 35%. Kampus dianggap sebagai jawatan pemerintah yang harus dikontrol. Saya melihat keadaan ini kurang menguntungkan bagi ekosistem akademik, termasuk otonomi kampus.
Pola akreditasinya juga terlalu rijid. Masih terasa ada unsur pusat (pemerintah, asesor) dan daerah (kampus, dosen). Sistem penjaminan mutu cukup “njelimet” dengan mencampuradukkan indikator input-proses-output-outcome. Sebaiknya pada sisi input-proses-ouput serahkan saja kepada PT, pihak pemerintah (dalam hal ini BAN PT) tidak perlu terlalu mencampuri. Tetapi pemerintah dapat memfokuskan ke output dan outcome. Sehingga mereka ditarik untuk maju dan kreatif, bukan dibebani.
BAN PT sebagai penjamin mutu eksternal harus memberikan kewenangan operasional input-proses ke unit penjaminan mutu internal. Bagi-bagi tugas ini selain lebih mudah, saling mengisi, juga tidak tumpang tindih.
Situasi dan kondisi PT di Indonesia sangat beragam. Adapun kacamata pemerintah adalah standarisasi. Hal ini tidak menguntungkan PT besar dan juga PT kecil.
Karena PT besar akan cenderung “regress to the mean” dan PT kecil akan cengap tidak berdaya. Bayangkan saja sebuah universitas kecil dintuntut harus ada fakultas, jurusan (departemen), selain program studi yang membuat manajemen tidak efisien dan cenderung mubazir.
Karena cukup ditangani oleh level PT, tanpa mengurangi esensi proses pembelajaran, risef, dan pengabdian masyarakat yang menjadi ruh PT. Alih-alih membuat maju PT, keadaan ini cederung menurunkan mutu PT.
Keadaan inilah yang menjadi alasan ketiga, tidak ada lagi program beasiswa pemerintah Malaysia ke Indonesia. Kalaupun ada, ukurannya sangat kecil. Berbeda dengan tahun 70-80, sampai di hampir semua kota PTN besar ada asrama mahasiswa dan bis mahasiswa Malaysia.
Dari ranking WCU (World Class University) berbagai metode dan institusi pengelola, tidak ada ada satupun PT Indonesia menempati 300 besar. Untuk level Asia, 10 besar dari ASEAN umumnya diisi oleh Singapura, Malaysia, dan Thailand. Wajar kalau pemerintah Malaysia tidak lagi tertarik mengirim mahasiswanya ke Indonesia.
Sebaiknya pemerintah memiliki konsep dalam pengembangan PT di Indonesia ini. Berikan keleluasaan manajemen kepada PTN besar, terutama PT BH (berbadan hukum) seperti UI, IPB, ITB, UGM, UPI, USU, dan UNAIR.
Arahkan mereka menjadi universitas riset yang menggandeng industri-industri dalam dan luar negeri untuk bekerja sama. Pemerintah harus berani memberikan tax excemption (pengecualian pajak) berupa pembebasan pajak bagi industri yang melakukan riset bersama dengan PT.
Misalnya, mereka harus meningkatkan manfaat SDA tidak sekedar bahan baku saja. Sains dan teknologi harus meningkatkan nilai tambah produk di dalam negeri.
Dan banyak cara dan strategi lainnya agar PTN besar bisa memproduksi pengetahuan. Termasuk kewajiban meningkatkan jumlah mahasiswa pascasarjana dengan output hasil riset yang dikenal oleh ilmuwan serta praktisi dunia.
PTNBH itu harus menjadi universitas riset, yakni bobot kegiatannya adalah riset. Sehingga mahasiswa didominasi oleh pascasarjana baik dari dalam maupun luar negeri.
Mereka jangan disibukkan dengan mencari sebanyak-banyaknya mahasiswa S1. Karena kapasitas SDM dan fasilitasnya sudah cukup memadai untuk level pascasarjana. Tinggal merubah manajemennya yang dituntut untuk mengasilkan metode baru, produk, prototipe, dan lain-lain yang dapat dilihat dari jurnal-jurnal, buku-buku teks, dan panduan-panduan.
Pola saat ini, PTN besar hanya akan bangga dengan akreditasi A, sementara sumbangsih terhadap negara tidak terlalu signifikan. Cukup menyedihkan.
Penulis adalah Rektor Universitas Trilogi/Guru Besar Statistika FMIPA IPB
Sumber: http://www.netralnews.com/news/opini/read/1417/perguruan.tinggi.rektor.universitas.trilogi